SimpleBizNet

Thursday 3 November 2011

POTRET SEBUAH BUDAYA KOMPETISI DARI NEGARA TETANGGA

Jika Anda termasuk orangtua yang getol memaksa anak untuk membaca buku pelajarannya, hati-hatilah. Jangan sampai anak Anda justru ketagihan belajar sehingga tidak bisa menimati hidup. Kalau sudah begini, dibutuhkan kekuatan polisi untuk menyetop nafsu belajar anak Anda.

Inilah yang terjadi di Korea Selatan.

Kehidupan di Korea Selatan memang kompetitif. Semua orang ingin anaknya menjadi yang terbaik dari segi akademik. Kawan saya di sana berkisah anaknya yang baru menginjak umur 3 tahun sudah harus masuk sekolah berasrama (boarding school) dari Senin hingga Jumat. Otomatis hanya 2 hari bertemu dengan ayah-bundanya tersayang.

Sori yah, kata saya. Saya nggak tegaan sama anak sampai segitunya. Kalau anak saya menginjak umur 3 tahun nanti palingan masih santai-santai di rumah main sama neneknya.

Saya (dulu) pernah meyakini kompetisi akan mengekstrak kualitas terbaik dari seorang manusia. Ibarat evolusi, kompetisi akan mempertahankan hanya yang terbaik dan yang lemah akan pupus.

Tetapi efek negatifnya tentu ada. Kehidupan kompetitif akan memicu stres. Kita semua tahu apa akibat dari kehidupan yang penuh dengan tekanan; kesehatan kita tergerogoti sehingga mati pelan-pelan, atau mati cara ekspres dengan bunuh diri. Tak heran Korea Selatan mencatat angka bunuh diri TERTINGGI di antara 30 negara maju, melebihi angka bunuh diri negara Jepang.

Itukah yang kita inginkan dalam kehidupan ini? Sukses di usia muda tapi mati pun di usia muda?

Menyadari hal ini, Pemerintah Korea Selatan mengambil tindakan drastik dengan menghentikan kegiatan belajar anak-anak yang dirasa berlebihan. Seperti diberitakan Time Magazine baru-baru ini, pemerintah negeri ginseng itu menurunkan tim kecil berkekuatan 5-6 orang untuk merazia anak-anak yang masih belajar setelah jam 10 malam. Yang menjadi sasaran utama adalah tempat-tempat les/bimbingan belajar yang dikenal dengan nama hagwon. Saking gilanya nafsu belajar anak-anak Korea ini, jumlah pengajar hagwon jauh lebih besar dibanding jumlah guru sekolah.

Apakah anak-anak Korea memang rajin sehingga keranjingan belajar? Tidak juga. Jurnalis Time mendapati mereka bekerja keras (work hard), tetapi tidak bekerja secara cerdik (work smart). Contohnya, anak-anak ini tidur dalam kelas, tetapi malamnya belajar sampai dinihari. Mereka hanya tidur 5-6 jam sehari dari yang seharusnya 9 jam. Seandainya mereka memusatkan perhatian di dalam kelas, niscaya mereka tidak perlu mengikuti les ini-itu di malam hari.

Sebagai perbandingan adalah negara Finlandia sebagai satu-satunya negara maju yang mencatat hasil ujian akademik anak usia 15 tahun sebanding dengan Korea, hanya 13% anak sekolah yang mengambil les tambahan di malam hari. Jadi sebenarnya les-les semacam itu tidak perlu jika si anak benar-benar memusatkan perhatian di sekolah.

Kegilaan belajar anak Korea juga diakibatkan oleh kompetitifnya proses masuk ke perguruan tinggi. Hanya ada tiga perguruan tinggi top di Korea Selatan yang diperebutkan oleh 580 ribu lulusan sekolah menengah. Tingkat penerimaan hanya 14%. Yang gagal biasanya mengambil les hagwon, dan setelah bekerja keras bagai kesetanan selama 2 minggu untuk ujian ulang, 70% di antara mereka bisa masuk ke perguruan tinggi top tersebut.

Saya kadang-kadang kasihan melihat anak-anak Asia. Bukan cuma anak-anak Korea, tetapi Singapura, China, dan juga mulai menjangkiti Indonesia. Siapa sih yang menghendaki anak-anak ini belajar keras? Si anak sendiri atau orangtua? Di Korea, terbukti orangtua menjadi faktor penekan yang menyebabkan anak gila belajar. Orangtua ingin anaknya berhasil secara akademis, dan anaknya menjadi sasaran tekanan.

Saya masih ingat dulu sekali, kalau rapor saya dan teman-teman ada angka merahnya, orangtua memarahi kita. Kini lain cerita. Kalau ada angka merah, orangtua memarahi sang guru. Ini adalah salah satu bukti bahwa ambisi terbesar untuk melihat kesuksesan si anak justru ada pada orangtua.

Juga anak-anak sekarang, usia balita sudah diikutkan les macam-macam. Les balet, les musik, les bahasa, les bela diri. Ini semuanya bukan permintaan si anak, tapi ambisi orangtua untuk melihat anaknya sukses di usia muda. Si anak sendiri tak peduli apakah dia bisa balet atau berkarate.

Di Singapura biasanya antar orangtua saling membanding-bandingkan. Kalau tetangga sebelah mengirim anak balitanya les balet, dia akan menanyai kita dengan nada sinis, “Anakku sudah bisa berbalet, anakmu bisa apa?” Sebagai orangtua tentu akan merasa panas hati dan terpaksa mengirim si anak berbalet ria walaupun si anak sendiri amsih mau bermain saja di rumah. Budaya ini (saling membandingkan) diistilahkan sebagai “kiasu” di Singapura.

Saya dulu umur 5 tahun masih main gundu dan layangan. Malah masih pakai empeng. Berhitung pun baru lancar pada saat kelas 2 SD. Toh bisa meraih gelar doktor di usia sebelum 30 tahun. Saya justru belum melihat bukti anak-anak jaman sekarang yang dicekoki oleh orangtuanya ini mampu meraih kesuksesan. Jangan-jangan malah bunuh diri karena stres!

Sumbar: Kompasiana.com



copas dari akun facebook Komunitas Ayah Sudah Penuh

Apa iya jk mata pljrn smkin byk, waktu bljr smkin lama, akan menjdkan anak kt lbh Pintar ? -SEKEDAR MENGINGATKAN KITA KEMBALI -

JIKA ANDA SEPENDAPAT DENGAN ISI ARTIKEL INI TOLONG BANTU SEBARKAN KE SEBANYAK2NYA ORANG TUA, GURU DAN PIMPINAN2 NEGERI INI YG ANDA KENAL, DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA APAPUN YG BISA MENJANGKAU MEREKA, FB, EMAIL, MILIS, FOTO COPY DSB.

Jika bukan kita berusaha yg mengubah negeri ini mau siapa lagi, jika bukan sekarang waktunya mau kapan lagi..? Jika kita mau PASTI BISA !!!!

Ditulis oleh Rhenald Kasali di koran Sindo 14 Juli 2011

Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.

Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?

Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit"The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".

Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.

Ubah Cara Pandang

Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.

Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.

Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang ,dan waktu agar ia tumbuh . Leadershipmaupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya,"beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"

Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.

Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.

Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.

Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?

Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?

Rhenald Kasali

Ketua Program Magiter Manajemen - UI




copas dari akun fb Komunitas Ayah Sudah Penuh

Apakah kita pernah mengalami fenomena semacam ini...?

Jika anak kita sebelumnya ceria kemudian sekarang menjadi pemurung

Jika sebelumnya anak kita banyak bergerak sekarang jadi pasif dan malas.

Jika sebelumnya anak kita banyak bertanya sekarang jadi pendiam.

Jika sebelumnya anak kita baik2 saja sekarang menjadi mudah sekali marah.

Jika sebelumnya anak kita baik2 saja sekarang suka mengganggu saudaranya.

Jika sebelumnya anak kita PD dan sekarang menjadi peragu dan pemalu.

Jika sebelumnya anak kita suka berkreasi dengan benda apa saja, menggambar, bernyanyi dan kini lebih suka diam dan tidur bermalas2an.

Jika sebelumnya ia peduli dan penuh perhatian tapi sekarang cuek dan acuh

Jika sebelumnya dia sayang dan dekat pada orang tuanya tapi sekarang malah menjauh..

Jika sebelumnya anak kita prilakunya baik2 saja namun sekarang berubah drastis menjadi sangat negatif

Maka kemungkinan besar kita telah salah memilihkan sekolah baginya...., fenomena ini kerap terjadi pada anak yg bersekolah baik pada tingkat TK, SD dan terus berlanjut hingga SMP dan SMA.

Banyak sekolah yg mengaku unggulan dan Favorit...., tapi jika setelah anak bersekolah di sana, kemudian muncul gejala2 semacam ini, itu artinya yg unggul hanya Spanduknya saja.

Ciri2 sekolah yg unggul adalah sekolah yg selalu mengajak orang tua untuk bekerjasama mengatasi setiap masalah dan prilaku anak secara bersama2, KARENA DALAM BANYAK KASUS PRILAKU ANAK YG BERMASALAH DI SEKOLAH JUSTRU BERAWAL DARI POLA ASUH ORANG TUANYA DIRUMAH.

Sekolah yg baik akan terus membangun komunikasi mengenai perkembangan prilaku setiap anak, serta mampu mempertahankan dan mengembangkan ciri-ciri fitrah yg muncul saat mereka masih usia balita, yakni selalu ceria, suka bergerak dan beraktifitas, selalu ingin tahu dan berekplorasi, suka bertanya tanpa takut salah atau di persalahkan, Sangat penuh percaya diri, suka berkreasi, menggambar, bernyanyi dsb.

Mengapa ini perlu di pertahankan dan di pupuk hingga ia dewasa....? karena ini adalah fitrah bawaan lahir seorang anak dan sekaligus merupakan ciri2 yg dimiliki orang2 yg sukses di kehidupan nyata.

Biasanya sekolah2 unggul malah jarang yg mengaku dirinya sekolah unggulan..., itulah mengapa sering kali kita sulit menemukannya meskipun terkadang berada dekat dengan wilayah tempat kita tinggal. Semoga melalui forum dan komunitas ini kita bisa berbagi informasi mengenai sekolah2 yg baik dan benar-benar favorit bagi anak2 kita.

Selamat beraktivitas !!!! Lets Make Indonesian Strong from Home

copas dari akun fb Komunitas Ayah Sudah Penuh